Sikap Intoleran Bentuk Awal Radikalisme - Stop Fitnah dan Hoax

Breaking

Wednesday, July 29, 2020

Sikap Intoleran Bentuk Awal Radikalisme


Radikalisme dan terorisme diyakini masih menjadi ancaman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu faktor tersebut diantaranya dipengaruhi oleh sikap intoleran yang dapat memicu berkembangnya paham radikal dan mengarah pada aksi teror.
Intoleransi merupakan sebuah paham atau pandangan yang tidak mengindahkan seluruh nilai-nilai dalam toleransi, yakni perasaan empati kepada orang atau kelompok lain yang berasal dari kelompok, golongan atau latar belakang yang berbeda.
Padahal kita tinggal di negara yang menjunjung tinggi kebhinekaan, dimana Ras, Agama maupun dari suku manapun, memiliki hak yang sama sebagai warga negara Indonesia. Salah satu hak yang tidak bisa diganggu-gugat adalah hak untuk beribadah.
Sikap yang menunjukkan anti keberagaman dan intoleransi ini apabila dibiarkan tentu dapat melahirkan pemikiran radikal dan aksi terorisme.
Menurut Letkol Setyo Pranowo selaku Kasi Partisipasi Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), aksi terorisme masih menjadi ancaman nyata bagi keutuhan NKRI. Hal tersebut terdeskripsi dari hasil survei nasional tentang daya tangkal masyarakat terhadap radikalisme dan terorisme yang dilaksanakan oleh BNTP pada tahun 2017 dan 2018 lalu.
Survei tersebut memperlihatkan rata-rata skor 42,58 dari rentang 0-100, atau masuk dalam kategori sedang. Selain itu, penggunaan media sosial dalam mencari informasi mengenai agama dengan skor 39,89 atau masuk dalam kategori tinggi dalam internalisasi kearifan lokal termasuk pemahaman terhadap agama.
Setyo menjelaskan bahwa salah satu penyebab meningkatnya potensi radikalise dan terorisma adalah faktor teknologi yang semakin maju namun tidak dibarengi dengan literasi bagi masyarakat.
Disrupsi informasi menjadikan masyarakat yang tidak siap menjadi gagap dan kesulitan dalam membedakan informasi baik yang benar atau salah. Situasi ini menjadi semakin parah karena latahnya masyarakat dalam membagikan informasi tanpa proses penyaringan dan telaah lebih dalam.
Mantan Kapolri Tito Karnacian sebelumnya pernah mengatakan bahwa kelompok teroris merasa bebas menyebarkan ajaran dan ideologinya karena berlindung di balik payung demokrasi. Kebanyakan dari mereka menyebarkan ajarannya dalam memanfaatkan kemajuan teknologi, salah satunya adalah media sosial.
Media sosial dan internet menjadi alat yang cukup ampuh bagi kaum teroris dalam menyebarkan ajaran maupun ideologinya. Tito yang kini menjabat sebagai menteri dalam negeri ini-pun mencontohkan dua wanita yang diduga mencoba menyerang di mako brimob pasca penyerangan.
Wanita tersebut mengaku bahwa dirinya mendapatkan pemahaman ideologi teroris dari media sosial yakni telegram dan kemudian dirinya justru dibaiat secara tidak langsung, hanya melalui video call.
Penggunaan teknologi dan media sosial pun membuat jejak para teroris dan penyebar ajarannya tidak terlihat. Ajaran ini-pun bisa masuk di semua kalangan tanpa mengenal profesi dan latar belakang.
Jika ditelisik pesan intoleransi juga telah menyebar di berbagai akun media sosial, topik ini akan mengalami peningkatan menjelang pemilu baik pilpres atau pilkada.
Anggota MPR Mercy Chriesty Barends pernah menegaskan bahwa sikap intoleran merupakan akar dari munculnya faham radikal serta aksi terorisme di Tanah Air.
Ia menuturkan, sikap intoleransi bisa muncul atau terjadi baik di dalam lingkungan terkecil, misalnya pertemanan, lingkungan sekolah maupun di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mercy juga mejelaskan bahwa dalam 20 tahun terakhir banyak sekali paham intoleransi yang muncul di Indonesia dan akhirnya bermanifestasi dalam tindakan sangat radikal, bahkan mengarah pada aksi terorisme dengan target utama yaitu generasi muda dan pelajar.
Kaum intoleran menulai bahwa para pelajar dan generasi muda lebih mudah untuk dilakukan pencucian otak (brainwash) dengan sasaran terjadi pengingkaran terhadap identitas kemanusiaan serta menghambat pengekspresian diri mereka sebagai generasi muda Indonesia yang cinta damai, cinta toleransi serta menghargai kebhinekaan dan NKRI yang majemuk.
Mercy menandaskan, para pelajar dan generasi muda boleh menjadi pintar dan cerdas, namun apabila pembentukan karakter serta nilai-nilai kebangsaan itu lemah, maka mereka akan menjadi korban serta mudah terpapar paham dan isu sektarian serta fundamentalisme.
Sebagai anak bangsa, kita tentu harus menjaga sikap toleransi kepada siapapun yang berbeda baik ras, suku dan agama. Karena Negara Indonesia ter-lahir berdasarkan kesepakatan para pendiri yang berasal dari suku manapun.
Sikap toleransi bisa dipupuk dengan memahami semboyan bhineka tunggal ika secara komprehensif. Semboyan ini jangan sampai hanya tertulis pada cengkeraman burung garuda, tetapi juga menjadi semangat untuk tetap bersatu dalam segala keberagaman.

No comments:

Post a Comment