Usul Penyeragaman Jabatan KPU Daerah Mulai 2023 Dianggap Pemborosan dan Tak Solutif - Stop Fitnah dan Hoax

Breaking

Wednesday, November 9, 2022

Usul Penyeragaman Jabatan KPU Daerah Mulai 2023 Dianggap Pemborosan dan Tak Solutif

 

 

Masa bakti anggota KPU provinsi dan kota/kabupaten yang menjabat sampai 2024 dan 2025 diusulkan berakhir serentak pada 2023 demi penyeragaman masa jabatan KPU daerah. Usul ini rencananya akan dimasukkan menjadi bagian dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pemilu, yang mulanya disusun untuk merespons pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) Papua. "Setelah nanti sekiranya di dalam Perppu ada aturan itu, maka pengisian jabatan atau seleksi anggota KPU Provinsi kabupaten/kota akan kita tata secara serentak. Untuk KPU Provinsi Mei 2023," ujar Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari, di kantor KPU Bali pada Sabtu (5/11/2022).

Sementara itu, pengisian anggota KPU kota/kabupaten diusulkan pada Juli 2023. Anggota KPU daerah yang seharusnya menjabat lebih lama dari itu akan diberikan kompensasi secara penuh sesuai periode masa jabatan yang seharusnya, dengan nominal total sekitar Rp 150 miliar. Alasan KPU Menurut Hasyim, penyesuaian masa bakti ini dilakukan dalam rangka desain keserentakan pemilu mulai 2024 dan ke depannya, agar tidak menimbulkan kesulitan dalam persiapan dan pelaksanaan pemilu. Sebab, saat ini, tanggal habis masa jabatan para anggota KPUD sangat bervariasi yang menyebabkan di beberapa daerah, ada anggota KPU yang masa jabatannya habis mendekati pemungutan suara. "Itu kan enggak ideal sama sekali. Kami sudah punya pengalaman mengatasi menghadapi situasi itu," ucapnya. Sesuai ketentuan, bila usul ini digolkan pemerintah dan DPR, maka seleksi pemilihan akan dimulai setidaknya pada Pemilihan pada 2023 sebagai titik pijak penyeragaman masa jabatan KPU daerah diklaim karena 2 hal. Pertama, KPU RI, sebagai pemegang wewenang pembentukan tim seleksi calon anggota KPU daerah, baru melantik jajaran komisioner anyar pada April 2022. Kedua, jika penyeragaman dilakukan setelah Pemilu dan Pilkada 2024, hal itu dianggap tak efisien. "Desain (pemilu) lima tahunnya masih nanti 2029. Iya, kan? Itu masih jauh. Di tengah-tengah periode 2024 ke 2029 tidak ada pemilu," kata Hasyim. Ia menampik bahwa penyeragaman masa jabatan KPU daerah setahun sebelum Pemilu 2024 bakal membawa unsur politik. Kritik pemborosan dan rawan politisasi Peneliti Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT), Hadar Nafis Gumay, menilai bahwa pergantian anggota KPU di tingkat provinsi dan kabupaten/kota semestinya dilakukan serentak setelah pemilu dan pilkada beres. Pergantian pada 2023 dianggap tak solutif karena itu artinya masih terdapat proses seleksi di tengah tahapan pemilu, yang akan menimbulkan masalah serupa seperti tidak fokusnya para anggota yang harus ikut tes sekaligus menyelenggarakan tahapan pemilu, serta potensi gugatan akibat hasil seleksi yang dapat memecah fokus KPU. Negara pun jadi boros karena mesti menggelontorkan uang kompensasi atas pejabat yang tidak melakukan kerjanya karena masa jabatannya dipangkas. "Menurut saya, hilangkan semua beban kerja dan potensi-potensi masalah yang akan timbul sampai pemilu dan pilkada itu semua tahapannya selesai dan juga ditambahkan beberapa waktu bagi mereka melakukan evaluasi," kata Hadar ketika dihubungi, Rabu (9/11/2022). "Jadi, lebih baik fokus disitu saja, diperpanjang saja mereka. Dengan memperpanjang tidak perlu keluar itu uang kompensasi Rp 150 miliar, seperti biasa saja mereka mendapatkan honornya," ujar mantan anggota KPU RI ini.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, juga mengutarakan hal yang sama. Di sisi lain ia menilai bahwa usul agar anggota KPU di tingkat provinsi dan kabupaten/kota diganti serentak pada 2023 rawan politisasi. '"Ini kan bukan rahasia lagi, proses pemilihan komisioner itu kan ada nuansa politiknya juga, selain juga ada kepentingan penyelenggara pemilu untuk memilih orang yang tepat dan berintegritas," kata Fadli kepada wartawan di Hotel Atlet Century, Jakarta, Rabu (9/11/2022). "Ada kepentingan peserta pemilu juga kan, yang kemudian pasti mereka ingin mencoba masuk untuk kemudian mempengaruhi proses pengambilan keputusan pemilihan komisioner itu," lanjutnya. Baca juga: KPU Sosialisasi Teknis Penyerahan Perbaikan bagi 5 Parpol yang Menang Sengketa Malam Ini Kerawanan politisasi itu juga dinilai berasal tidak hanya dari calon-calon peserta pemilu perorangan, melainkan juga partai politik yang boleh jadi berupaya "menitipkan" kandidat tertentu. Fadli menganggap, kerawanan politis ini juga bisa timbul dari calon anggota KPU daerah itu sendiri yang, demi terpilih, mungkin melakukan banyak upaya lobi ke berbagai pihak, termasuk kepada KPU RI. "Itu sesuatu yang tidak bisa dinafikan menurut saya," ujar Fadli. "Itu kan melelahkan dan mengganggu juga keseimbangan institusi penyelenggara di tengah melaksanakan tahapan (pemilu)," lanjutnya.


No comments:

Post a Comment