Kebusukan Penyidik KPK Dibongkar Wakil Menkumham - Stop Fitnah dan Hoax

Breaking

Saturday, May 8, 2021

Kebusukan Penyidik KPK Dibongkar Wakil Menkumham

 


Wakil Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia, Prof Dr Edward Omar Sharif Hiariej, SH, M.Hum, membongkar kebusukan komisioner dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK-RI).

Keborokan KPK-RI melengkapi bau busuk sebelumnya, dimana karyawan dan penyidik dikuasai kelompok taliban di bawah geng Novel Baswedan dan Yudi Purnomo yang merupakan bagian dari 75 orang yang tidak lulus Test Wawasan Kebangsaan (TWK) selenggarakan Badan Kepegawaian Negara Republik Indonesia (BKN-RI), 18 Maret – 9 April 2021.

Video rekaman Edward disebarkan pengguna twitter @_AnakKolong yang bagikan kepada Ferdinanh Hutahaean dan Febriansyah (mantan Juru Bicara KPK-RI), mulai ramai dibahas, Jumat malam, 7 Mei 2021.

“Saya yakin Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, SH, M.Hum, sangat bertanggungjawab atas pernyataannya,” cuit @_AnakKolong.

Pukul 23.10 WIB, Jumat, 7 Mei 2021, cuit @_AnakKolong sudah ditayang 6.774 kali.

“Pesan ini saya tujukan pada lelaki cengeng febridiansyah & begundal-begundal KPK-RI yang tak lulus TWK & masih berlagak seperti malaikat,” tutur cuit @_AnakKolong.

Dalam tayangan video, Edward mengungkapkan hakim-hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) lebih takut kepada penyidik KPK dibanding menegakkan kebenaran dan keadilan.

“Hakim-hakim Tipikor itu lebih takut pada Komisi Yudisial daripada menegakkan kebenaran dan keadilan. Apalagi kalau penyidik dan penuntutnya adalah Komisi Pemberantasan Korupsi,” ujar Edward.

Edward menyebut, Pimpinan KPK di masa lalu suka menelpon dan mengintimidasi para hakim Tipikor.

“Belum lagi zaman KPK yang lalu itu yang mana Pimpinan KPK suka telepon hakim lalu mengintimidasi hakim, itu terjadi,” ungkap Edward.

Edward berani membeberkan siapa-siapa Komisioner KPK yang suka menelpon dan mengintimidasi hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

“Saya bisa tunjuk itu batang hidungnya siapa Komisioner KPK yang suka menelpon hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ketika suatu perkara sedang disidangkan,” tutur Edward.

Edward menilai bahwa KPK seratus persen tidak murni menegakkan hukum karena telah melakukan intimidasi dan teror kepada hakim.

“Sehingga memang seratus persen dari KPK itu bukan pure (murni) persoalan hukum, tapi ada intimidasi ada teror. Apalagi hakim memeriksa itu punya track record yang buruk, itu menjadi makanan empuk (penyidik KPK) untuk melakukan intimidasi,” ujar Edward.

Pegiat media sosial dan pengamat politik Denny Siregar, mengatakan, 75 penyidik yang tidak lulus TWK memang harus segera dikeluarkan dari KPK-RI, karena sudah menjadi duri dalam daging.

“Sebanyak 75 orang yang tidak lulus TWK tidak sampai 10 persen dari 1.362 karyawan dan penyidik KPK-RI. Sama sekali tidak ada pengaruhnya bagi aktifitas internal. Novel Baswedan dan Yudi Purnomo, itu, tidak lebih dari jongos di KPK-RI, tapi sudah menganggap diri mereka orang hebat,” ujar Denny Siregar.

Menurut Denny Siregar, tidak ada prestasi yang menonjol dari KPK-RI sebagai kontribusi dari Novel Baswedan dan Yudi Purnomo. Dari Rp15 triliun anggaran yang sudah dikucurkan ke KPK-RI, hanya mampu menyelamatkan uang negara Rp3 triliun.

Novel Baswedan dan Yudi Purnomo, selama ini hanya lihai membentuk opini, bekerjama dengan Indonesian Corruption Watch (ICW) dan sejumlah media, untuk menutup borok di dalam tubuh KPK-RI.

Pegiat media sosial, pelaku bisnis dan pengamat politik Erizely Bandaro, dan praktisi hukum, Petrus Selestinus, mengatakan, Test Wawasan Kebangsaan (TWK) di lingkungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan konsekuensi logis karyawan berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) sehingga sebagai kewajiban menjalankan agenda politik pemerintahan.

“Agenda politik pemerintahan adalah kesetiaan terhadap ideologi negara, Pancasila, berlandaskan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan  Bhinneka,” kata Petrus Selestinus.

Alih status karyawan menjadi ASN, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, tentang: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selasa, 4 Mei 2019, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan judicial review Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 yang diajukan 13 orang, di antaranya mantan Komisioner KPK.

“Kalau ternyata masih ada yang protes terhadap hasil TWK, justru patut dipertanyakan integritasnya terhadap ideology Pancasila. Sebelum menjadi ASN, seseorang memang harus terlebih dahulu menyatakan kesetiaan terhadap ideology Pancasila,” kata Petrus Selestinus.

Dikatakan Petrus Selestinus, terhadap pertanyaan tertulis dari BKN-RI untuk dijawab tertulis secara tertutup dan diserahkan kepada BKN-RI terhadap Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI) dan Mohammad Rizieq Shihab (MRS), untuk mengetahui sampai sejauh mana kesetiaan calon ANS dari KPK terhadap ideology Pancasila.

Karena HTI dan FPI menolak ideology Pancasila untuk diganti dengan ideology khilafah. HTI dibubarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017, dan berbagai bentuk akfititas FPI dilarang berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 6 Menteri/Pejabat Tinggi Negara, Rabu, 30 Desember 2020.

MRS yang melarikan diri ke Arab Saudi, untuk menghindari proses hukum chat mesum bersama janda cantik Firza Hussein, 2017, dan kembali ke Indonesia, Selasa, 10 Nopember 2020, ditangkap Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Sabtu dinihari, 13 Desember 2020, karena hate speech, penghinaan terhadap simbol negara, pejabat negara dan kasus kriminal lainnya.

Erizely Bandaro mengatakan, TWK sebagai  asesmen seseorang layak atau tidak jadi ASN. Makanya test tersebut sangat penting sebagai syarat menjadi seorang ASN. Memang TWK itu tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, tentang: KPK.

“Namun  keberadaan TWK itu diatur dalam Undang-Undang Nomor  5 Tahun 2014. Jadi kalau mau jadi ASN, harus melewati TWK. Kalau tidak mau ikut TWK, jangan jadi  ASN. Karena tidak mungkin ke-75 penyidik KPK itu tidak lulus TWK, kalau dalam jawaban tertulisnya menyatakan setia terhadap ideology Pancasila,” ujar Erizely Bandaro.

Yang dipermasalahkan oleh publik dan terutama anti pemerintah menganggap TWK itu sangat politis. Tapi mengapa dalam test itu katanya disebut ada pertanyaan-berkaitan dengan pandangan pegawai KPK terhadap program pemerintah. Bahkan ada pertanyaan yang menyinggung FPI yang telah resmi dilarang pemerintah pada akhir 2020, hingga pertanyaan terkait pemimpin FPI, MRS.

“Ya, memang kalau berkaitan dengan Wawasan Kebangsaan, pastilah politik. Saat Anda jadi ASN, saat itu Anda bekerja sesuai agenda politik pemerintah. Ya, pemerintah yang berkuasa,” ujar Erizely Bandaro.

“Jadi kalau ada yang bilang test itu sengaja menyingkirkan orang yang dianggap hebat, ya ukuran ASN, bukan hanya hebat tetapi juga loyal kepada undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, Undang-Undang Nomor  5 Tahun 2014, dan UUD 45. Hebat, tapi anti idiologi negara, ya sorry saja. Silahkan cari kerjaan lain,” tegas Erizely Bandaro.

Menurut Erizely Bandaro, pihak yang tidak menerima TWK, silakan mengajukan gugatan kepada MK.  Tidak ada masalah. Itu hak mereka. Hasilnya? MK menolak gugatan itu. Ya pastilah ditolak.

“Mengapa? Tidak ada relevansinya mempersoalkan status pegawai ASN dengan pengawasan ASN oleh Kepala Aparatur Sipil Negara, dan pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Pengawas karena keduanya saling melengkapi,” ungkap Erizely Bandaro.

Erizely Bandro mengatakan, “Mau lapor kemana lagi? Ke Mahkamah International? Monggo. Ini negara berdaulat dan setiap ASN harus patuh kepada pemerintah. Apapun program pemeritah harus dukung.”

“Rakyat juga harus dukung.Tidak  suka? Diam! Kalau tidak bisa diam? Minggat aja dari NKRI. Toh, era globalisasi orang tidak paksa harus tinggal di negaranya. Yang penting dimanapun berada, bayar pajak, salah, ya, masuk penjara,” tegas Erizely Bandaro. *


No comments:

Post a Comment