Buta Warna Pancasila dalam Wacana Negara Tauhid Rizieq - Stop Fitnah dan Hoax

Breaking

Tuesday, May 11, 2021

Buta Warna Pancasila dalam Wacana Negara Tauhid Rizieq



Seruan pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Muhammad Rizieq Shihab untuk hijrah ke sistem negara berbasis tauhid dinilai merupakan gejala kebutaan terhadap keberagaman di Indonesia dan Pancasila. Sebab, dasar negara jelas menyatakan kebebasan menjalankan ajaran agama tak cuma diperuntukkan bagi umat Islam.

Dalam acara Dialog Nasional Reuni Akbar 212 yang disiarkan secara daring, Rabu (2/12), Rizieq menyerukan hijrah ke sistem negara berbasis tauhid. Ia mengklaim sistem ini sesuai dengan sila pertama Pancasila.

"Maka itu, revolusi akhlak di level sistem bagaimana kita menggandeng, kita hijrah ke sistem berbasis tauhid, berbasis sila pertama Pancasila," kata Rizieq, saat itu.

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan pernyataan Rizieq itu sebetulnya merupakan pendapat salah satu kelompok pendiri bangsa kala perumusan dasar negara.

Namun, saat itu kelompok lainnya juga menyatakan pendapat berbeda. Sehingga, sebagai kompromi lahirlah Pancasila.

"Yang jelas sila pertama itu adalah sila yang tidak terpisah dengan empat sila lainnya. Dia tidak berdiri sendiri, tapi saling mengayomi satu sama lain. Pendapat Rizieq tidak salah, tapi tidak sepenuhnya pula tepat," ungkap Feri.

"Rizieq hanya melihat satu warna dan 'buta' terhadap warna-warna lainnya. Dulu para ulama besar pendiri negara ini menerima Pancasila akhirnya, perdebatan selesai," cetus dia.

Sejumlah tokoh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 1945 silam memang pernah membahas soal dasar negara. Kala itu, kelompok Islam mendorong penerapan syariat dengan memasukkan kalimat "...dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" ke dalam pembukaan undang-undang dasar.

Tujuh kata dalam rumusan yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta itu kemudian dihapus atas dasar keberatan dari tokoh-tokoh kawasan Timur terkait keragaman keyakinan. Hatta kemudian berdiskusi dengan tokoh-tokoh Islam.

Kompromi pun tercapai. Kalimatnya berubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa", yang kemudian disepakati menjadi sila pertama Pancasila.

Feri menilai tak perlu lagi memperdebatkan Pancasila sebagai dasar negara yang terbukti bisa mengharmonisasikan kehidupan penganut berbagai agama.

"Tidak hanya itu, Pancasila juga menyatukan berbagai suku dan perbedaan lain dalam bingkai negara kesatuan," ucapnya.

Tak Lengkap

Terpisah, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf menilai pasal tentang ketuhanan dalam UUD 1945 tak bisa diambil secara parsial atau sebagian.

Menurutnya, sila pertama Pancasila itu sendiri diterjemahkan salah satunya dalam Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945. Pasal 29 ayat (1), kata dia, memang menyatakan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

"[Pasal] itu kan artinya tauhid, 'tidak ada Tuhan selain Allah' kalau dalam pengertian orang Islam, kan begitu. Jadi, kalau kita lihat dari sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, itu lah makna tauhidnya dalam sila pertama, sesuai Pasal 29 ayat 1," tutur Asep saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (2/12).

Namun demikian, pasal tersebut harus dilihat secara keseluruhan. Sebab, Pasal 29 ayat (2) menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Dengan begitu, kata dia, Indonesia tidak dapat dikatakan sebagai negara Islam karena negara membebaskan warganya memeluk agama lain, seperti Katolik, Hindu, Budha, Kristen Protestan, hingga Konghucu.

"Semua agama diakui, dijaga, dihormati, berdamai, toleransi. Itu kan berikutnya. [Pasal 29] ayat(2) kan begitu," ucapnya.

"Memang perlu dielaborasi, dijabarkan lebih lanjut, kita bukan negara Islam yang dimaksud, tapi negara yang berdasarkan nilai-nilai agama, nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Masing-masing agama pasti berkontribusi menegakkan sila pertama itu," kata Asep menambahkan.




Sumber

No comments:

Post a Comment